JAKARTA - Bagi sebagian besar orang asing, Indonesia
hanyalah Jakarta, Bali, Yogyakarta dan Papua. Itulah yang diketahui
delapan mahasiswa asing di Universitas Lampung (Unila) ini. Jangankan
Unila, letak Provinsi Lampung saja mereka tidak tahu.
Akibatnya,
mereka memilih kampus di daerah Yogyakarta atau Jakarta sebagai pilihan
pertama. Mahasiswa asal Madagaskar, Andrianony Eliane Deborah,
misalnya, mencantumkan Unila di pilihan kedua karena tidak tahu apa pun
tentang Lampung dan Unila. Bahkan, saking tidak tahunya tentang Lampung,
Andrianony, merasakan homesick di awal masa homestay-nya.
"Satu
bulan di Lampung, saya sudah rindu rumah di Madagaskar," Andrianony
berkelakar, seperti dinukil dari laman Unila, Jumat (29/11/2013).
Hal
serupa disampaikan Harasawa Misato dan Kusano Nagisa, mahasiswa asal
Jepang. Dia mengaku, sangat siap dan berharap masuk di universitas yang
dipilihnya di Yogyakarta. "Namun, saya akhirnya merasa betah di Unila
karena ada komunitas Bahasa Jepang dan saya bisa bergabung di sana,"
tutur Misato,
Lambat laun, kedelapan mahasiswa asing ini pun
mampu belajar banyak hal yang membuat betah dan mencintai almamater baru
mereka. Andrianony mengaku, mereka sudah lancar berkomunikasi. Hanya,
memang masih ada beberapa kata yang belum mereka pahami dan sulit
dilafalkan.
Selain Andrianony, Misato dan Nagisa, masih ada lima
mahasiswa asing yang menuntut ilmu di Jurusan Bahasa dan Budaya
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila. Mereka
adalah Michal Tengeri (Slovakia), Ramiandrisoa Miantsa Hasinjara
(Madagaskar) Madagaskar, Khan Dalath, Soun Savon, dan Met Monynimol
(Kamboja).
Kedelapan mahasiswa rantau ini berkuliah di Unila
melalui Program Beasiswa Darmasiswa Republik Indonesia selama satu
tahun. Selama masa kuliah, mereka tinggal di kompleks perumahan dosen
Unila di samping Masjid Alwasi’i. Diakui Miantsa, fasilitas di perumahan
ini cukup lengkap.
"Homestay kami di Unila ini lebih baik dari
teman-teman kami yang kuliah di universitas lain, karena kami pernah ke
sana dan melihat langsung kondisinya," ujarnya.
Sehari-hari,
selain kuliah dan belajar bahasa Indonesia di kampus, mereka juga
mempelajari budaya Indonesia, khususnya budaya Lampung. Setiap Kamis,
Andrianony dkk belajar membuat sulam usus dan kain tapis khas Lampung di
tempat pembuat sulam usus terkenal Lampung, Aan Ibrahim. Kemudian
setiap Jumat, mereka belajar musik dan tari (kesenian Lampung) di Unit
Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKM BS) Unila.
Misato
menjelaskan, dia dan teman-temannya juga belajar tentang kehidupan
sosial dan alam di Lampung. Bahkan, makanan dan tempat wisata tidak
luput dari perhatian mereka. Andrianony menyukai rendang dan nasi
goreng, Nagisa gemar makan nasi uduk atau nasi kuning, sedangkan Ramia
paling doyan Teluk Kiluan. Sementara itu, Soun Savon sangat senang di
Lampung karena menemui banyak wihara.
"Saya suka Lampung karena
di sini multikultur, sehingga banyak budaya yang bisa dipelajari selain
Lampung," imbuh Misato, yang merupakan penggemar Siger Lampung itu.
Bagi
Miantsa, jauh dari kampung halaman membuatnya belajar banyak tentang
hidup. Kesemuanya memengaruhi sikap dan pemikirannya sehari-hari.
Misalnya, Miantsa mencontohkan, dia jadi lebih bertanggung jawab. "Saya
juga sekarang bisa duduk bersila, karena di negara saya (Madagaskar)
jarang sekali wanita yang duduk bersila. Awalnya saya sampai kesemutan,
sekarang sudah biasa," ujarnya sambil tertawa.
Sebenarnya, apa
sih tujuan Miantsa dkk ini mempelajari bahasa dan budaya Indonesia?
Michal Tengeri dari Slovakia menjawabnya dnegan lugas, sebagai bekal
mencari kerja. Mike sendiir irngin bekerja di kedutaan besar Indonesia
di Slovakia atau bekerja di Jakarta.
"Kini banyak mahasiswa Slovakia yang tertarik belajar bahasa Indonesia," tutur Mike.