Menurut Ausubel
belajar adalah proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung.
Perubahan terjadi dalam kemampuan seseorang untuk bertingkah laku dan berbuat
dalam situasi tertentu, perubahan dalam tingkah laku hanyalah suatu reflek dari
perubahan internal (berbeda dengan aliran behaviorisme, aliran kognitif
mempelajari aspek-aspek yang tidak dapat diamati secara langsung seperti,
pengetahuan, arti, perasaan, keinginan, kreativitas, harapan dan pikiran).
Menurut beliau
(Dahar 1996) bahan subyek yang dipelajari siswa haruslah “bermakna”
(meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur
kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan
generalisasi-generalisasi yang telah diingat siswa. Suparno (1997) mengatakan
pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran yaitu informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang
sedang melalui pembelajaran. Menurut Ausubel, pemecahan masalah yang sesuai
akan lebih bermanfaat bagi siswa dan merupakan strategi yang efisien dalam
pembelajaran. Kekuatan dan makna proses pemecahan masalah dalam pembelajaran
sejarah terletak pada kemampuan siswa dalam mengambil peranan pada kumpulannya.
Untuk melancarkan proses tersebut, maka diperlukan bimbingan secara langsung
dari guru, baik secara lisan maupun dengan tingkah laku, ketika siswa diberi
kebebasan untuk membangun pengetahuannya sendiri.
Menurut Ausubel,
belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi.
a.
Dimensi pertama berhubungan dengan
cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan
atau penemuan.
b.
Dimensi kedua menyangkut cara
bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang
telah ada. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan
generalisasi- generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar,
informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk penerimaan yang
menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan bentuk belajar
penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh
materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau
mengaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep-konsep atau lain-lain)
yang telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi,
siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru, tanpa
menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya,
dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Ausubel menyatakan, bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan belajar penerimaan
dengan belajar hafalan, sebab mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya
terjadi bila siswa menemukan sendiri pengetahuan. Belajar penerimaan pun dapat
dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep.
Sedangkan memecahkan suatu masalah hanya dengan coba-coba seperti menebak suatu
teka-teki.
Ausubel mengidentifikasikan empat kemungkinan tipe belajar, yaitu :
a. Belajar
dengan penemuan yang bermakna,
b. Belajar
dengan ceramah yang bermakna,
c. Belajar
dengan penemuan yang tidak bermakna, dan
d. Belajar
dengan ceramah yang tidak bermakna.
Dia
berpendapat bahwa menghafal berlawanan dengan mermakna, karena belajar dengan
menghafal peserta didik tidak dapat mengaitkan informasi yang diperoleh itu
dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.
Dengan demikian bahwa belajar itu akan lebih berhasil jika materi yang
dipelajari bermakna. Dalam kegiatan belajar terdapat empat kemungkinan tipe
belajar, yaitu:
a. Belajar
dengan penemuan yang bermakna.
b. Belajar
dengan ceramah yang bermakna,
c. Belajar
dengan penemuan yang tidak bermakna, dan
d. Belajar
dengan ceramah yang tidak bermakna.
Ausubel telah mengemukakan model pengajaran ekspositori, yaitu guru
menyampaikan pelajaran dengan lengkap dalam susunan yang teratur agar pelajar
dapat menerimanya dengan baik. Menurut Ausubel, guru dalam memberikan
pelajaran juga harus secara tersusun dan teratur kepada pelajar dalam bentuk
kuliah dan ceramah. Akan tetapi, walaupun guru memberi pelajaran, ide atau
respon pelajar, dapat didiskusikan bersama dalam proses pembelajaran. Belajar
penangkapan ini pertama kali dikembangkan oleh David Ausable sebagai jawaban
atas ketidakpuasan model belajar discovery
yang dikembangkan oleh Jerome Bruner. Menurut Ausubel , siswa tidak selalu
mengetahui apa yang relevan untuk dirinya sendiri, sehingga mereka memerlukan
motivasi eksternal untuk melakukan kerja kognitif dalam mempelajari apa yang
telah diajarkan di sekolah.
Psikologi
pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel ini merupakan psikologi pendidikan
untuk mencari hukum belajar yang bermakna. Konsep belajar bermakna David
Ausubel yaitu Belajar bermakna (meaningful learning) dan Belajar
menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar
yakni informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai
seseorang yang sedang belajar. Sedangkan Noeng Muhadjir mengatakan bahwa
belajar bermakna yang dimaksud Ausubel adalah dimilikinya kesiapan belajar
karena telah memahami kebutuhan individual dari apa yang sedang dan akan
dipelajari. Sedangkan belajar menghafal
adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru
atau yang dibaca tanpa makna.
Ausubel
memberikan perhatian besar pada siswa di sekolah dengan memperhatikan ataupun
memberikan tekanan-tekanan pada unsur-unsur bermakna dalam belajar, melalui
bahasa (meaningful verbal learning). Bermakna diartikan sebagai
kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah ataupun prinsip. Maka, belajar
dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Ausubel
mengakui bahwa pengetahuan dan pemahaman yang baru harus diintegrasikan ke
dalam kerangka kognitif yang sudah dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu,
Ausubel tidak memandang belajar dengan menghafal saja sebagai hasil belajar
yang bermakna, karena hasil itu tidak dikaitkan dengan isi dalam kerangka
kognitif yang tersusun secara hierarkis apalagi diintegrasikan kedalamnya.
Pembelajaran ekspositori itu terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1.
Penyajian Advance Organizer
Advance organizer merupakan pernyataan umum yang
memperkenalkan bagian-bagian utama yang tercakup dalam urutan pengajaran. Advance organiser berfungsi untuk
menghubungakan gagasan yang disajikan di dalam pelajaran dengan informasi yang
telah berada di dalam pikiran siswa. Advance
organizer ini memberikan skema organisasional terhadap informasi yang
sangat spesifik yang telah disajikan.
2.
Penyajian Materi atau Tugas Belajar
Dalam tahap
ini, guru menyajikan materi pembelajaran yang baru dengan menggunakan metode
ceramah, diskusi, film, atau menyajikan tugas-tugas belajar kepada siswa.
Ausubel menekankan tentang pentingnya mempertahankan perhatian siswa, dan
pentingya pengorganisasian materi pelajaran yang dikaitkan dengan struktur yang
terdapat di dalam Advance Organizer.
Dia menyarankan suatu proses yang disebut dengan diferensiasi progresif yaitu
pembelajaran berlangsung secara bertahap dimulai dari konsep umum menuju kepada
konsep yang lebih spesifik, contoh-contoh ilustratif, dan membandingkan antara
konsep lama dengan konsep baru.
3.
Memperkuat Organisasi Kognitif
Ausubel
menyarankan bahwa guru mencoba mengikatkan informasi baru ke dalam stuktur yang
telah direncanakan di dalam permulaan pelajaran, dengan cara mengingatkan siswa
bahwa rincian yang bersifat spesifik itu berkaitan dengan gambaran informasi
yang bersifat umum. Pada akhir pembelajaran, siswa diminta mengajukan
pertanyaan pada diri sendiri mengenai tingkat pemahamannya terhadap materi yang
baru dipelajari. Dalam tahap ini siswa diharapkan menghubungkan dengan materi
yang telah dimiliki.